Sunset di Pantai Punai

Turunnya tabir senja, menjadi penutup hari.

Lepat sang Kuliner Khas Maras Taun

Lepat merupakan menu wajib saat maras taun digelar, dan lebih enak jika dinikmati bersama Emping Beras.

Buang Jong, Tradisi Sakral Suku Sawang

Buang Jong juga disebut Muang Jong, di Belitung Timur biasanya dilaksanakan pada bulan Febuari.

Perahu diantara Bagan Layar

Keberadaan perahu dan Bagan Layar menjadi objek foto yang menarik di Pulau Buku Limau.

Bokor

Adalah simbol pertautan dan dialog budaya masyarakat melayu Nusantara yang berkunjung ke Pulau Belitong.

Selasa, 01 Maret 2016

Menyoal Gangan Dalam Tinjauan Sejarah Kebudayaan


Nama Gangan tentunya tak asing lagi dipendengaran, bahkan masyarakat dari berbagai lapisan usia sudah sering menikmati. Cita rasa kuliner ini memang khas, ikan segar yang dibalut dengan rasa dari aneka rempah-rempah, antara lain Lengkuas, Cabe Merah, kunyin dan sedikit asam serta bawang merah tentunya sangat memanjakan penikmatnya apalagi bagi mereka yang suka pedas tentunya kuliner ini kian memacu selera.
Kuliner khas Pulau Belitong ini tentunya memiliki sejarah tersendiri, yaitu soal kapan, dimana, siapa serta bagaimana proses terlahirnya. Jika kita telusuri dari sejarah kebudayaan masyarakat di Pulau Belitung, tentunya periode Kubok perlu untuk ditelisik lebih jauh. Menurut tulisan KA. Moehi yang berjudul Kubok, ditulis di Gantong, pada tanggal 1 Febuari 1989, ia menyebutkan bahwa pada masa lalu setiap kubok terdiri dari beberapa orang saja, masing-masing kubok letaknya berjauhan sehingga alam sekitar sangat menjadi sahabat dan sulit bergantung dengan orang “kubok” yang lain. Kehidupan yang masih sangat sederhana, perabotan rumah tangga dan  alat pertanian didapatkan dari hasil memanfaatkan hasil alam.
Lebih lanjut KA. Moehi menjelaskan bahwa masyarakat Kubok memiliki kebiasaan mangkap burung dengan menggunakan Geta Pikat dan Serekap (semacam perangkap burung). Selain itu pulut yang dipasang di dahan atau ranting pohon pada musim kemarau juga mentandik berupa jebakan untuk mendapat burung.
Selain itu mereka juga menanam  tanaman yang biasa ditanam di masa itu antara lain Kacang Butor, Kacang Parang, Kacang Tunggak, Berucuk Kangkong, keladi, tebu, serai, kunyit, Cabik Jarum, Cabik Cungak Bijan, yang ditanam bersama dengan padi, jelai dan liak (jahe).
Selain menangkap burung dan bercocok tanam masyarakat kubok juga biasa kala itu Nube di musim panas dengan menggunakan tube. Sehingga ikan keracunan bahkan pingsan sehingga mudah ditangkap.
Sayangnya KA. Moeh tidak menjelaskan bagaimana tradisi maritime yang kemudian mempengaruhi kuliner daerah yaitu gangan. K.A. Moehi meanggambarkan daerah pesisir Pulau Belitong kala itu dikuasi oleh Lanun sehingga masyarakat lokal kala itu cenderung berdiam di rimba dengan membuka Kubok yang disekitarnya merupakan area cocok tanam mereka.
Beberapa kebiasaan masyarakat yang telah  diungkap dalam tulisan KA. Moehi dan tulisannya yang lain tidak mengindikasikan dikenalnya gangan pada masa itu. Sehingga pertanyaan besarnya apakah Gangan belum ada pada masa itu ataukah sudah ada tetapi luput dari sejarah ?.
Beranjak dari hal tersebut, saya pun melihat hubugan gangan dengan kuliner daerah melayu lainnya, yang ternyata ada kemiripan. Misalnya Lempah Kuning di Pulau Bangka, Gulai Ikan di Kerinci, Ikan Asam Pedas di Pulau Penyengat (Kepulauan Riau) dan juga Gulai Ikan Patin Jambi dengan bumbu yang mirip gangan yaitu cabe merah, lengkuas, serai, kunyit, bawang merah dan bawah putih. Namun kuliner ikan ini di setiap daerah tentu memiliki cita rasa yang khas sebagai hasil dari penggunaan bumbu-bumbu yang diolah oleh tangan-tangan terampil.

Nah, hal tersebut tentunya melahirkan pertanyaan baru, apakah gangan ini adalah buah pengaruh kebudayaan masyarakat melayu lainnya atau hasil interaksi pelayaran dan perniagaan di masa lalu ?. Pertanyaan ini tentunya butuh kajian lebih lanjut, sehingga gangan sebagai identitas lokal akan diketahui jati dirinya.(adi_2016)