Sunset di Pantai Punai

Turunnya tabir senja, menjadi penutup hari.

Lepat sang Kuliner Khas Maras Taun

Lepat merupakan menu wajib saat maras taun digelar, dan lebih enak jika dinikmati bersama Emping Beras.

Buang Jong, Tradisi Sakral Suku Sawang

Buang Jong juga disebut Muang Jong, di Belitung Timur biasanya dilaksanakan pada bulan Febuari.

Perahu diantara Bagan Layar

Keberadaan perahu dan Bagan Layar menjadi objek foto yang menarik di Pulau Buku Limau.

Bokor

Adalah simbol pertautan dan dialog budaya masyarakat melayu Nusantara yang berkunjung ke Pulau Belitong.

Minggu, 15 Mei 2016

Pesan di balik Makan Bedulang

Masyarakat tengah Makan bedulang 

Orang Belitong itu suka berbagi dan saling menghormati, lihat saja dari kebiasaan makan bedulang.

Bagi masyarakat Belitong, istilah makan bedulang tentunya tidak asing lagi dipendangaran. Bahkan boleh dikatakan mereka telah melakukan kebiasaan ini bersama-sama, baik laki-laki maupun perempuan juga tua maupun muda.
Komposisi unik perpaduan unik dalam menu Tradisional dan Modern
Disebut Makan bedulang bersesuaian dengan kenyataannya, bahwa lauk pauk diletakkan di dalam dulang dan ditutup dengan Tudong Saja dan bertahtakan Tudong Lambak. Setiap satu paket dulang disediakan untuk 4 orang dan dilengkapi dengan nasi satu bakul (sebakak) dan air minum, juga tidak lupa kue basah atau irisan buah-bukan sebagai hidangan penutup.
Makan Bedulang bukan hanya soal apa yang dimakan, akan tetapi didalamnya terkandung nilai filosofi tinggi, yang mengajarkan hal baik kepada penikmatnya. Dalam makan bedulang memang terdapat aturan tak tertulis, misalnya menjunjung tinggi norma sosial yang patut dijunjung tinggi.

Saling menghormati
Jika Tukang Angkat dan Lepas Sajian” telah dipersilakan bertugas oleh Penghulu Gawai, maka makanan secara maraton akan dibawa dari asalnya (biasanya dari arah dapur). Setelah dulang-dulang telah hadir di tengah-tengah “penikmatnya” maka Penghulu Gawai akan mempersilahkan untuk menikmati hidangan bersama-sama.
Sebelum membuka dulang, nasi diambil terlebih dahulu. Biasanya mereka akan mempersilahkan kepada yang lebih tua untuk memulainya dan tak jarang yang lebih tua meminta kepada kepada yang lebih muda untuk mengawalinya.
Uniknya, dalam kebiasaan ini terdapat pemandangan luar biasa. Mereka dari berbagai usia, berbeda etnis dan keyakinan, duduk menikmati isi dulang yang sama dengan menaati aturan makan bedulang yang tak tertulis. Makan bedulang menjadi simbol pemersatu dari keragaman budaya.
Suasana Makan Bedulang
Indahnya Berbagi
Saat makan bedulang digelar, berbagai hidangan mulai dari bernuansa Sea Food seperti Gangan, dan menu ala “kampong” seperti Gangan Darat yang ditemani Sambal Serai dan Lalapan Jantong Pisang kian menggugah selera. Nah, lewat makan bedulang, kita akan diajarkan supaya makanan yang tersedia, dapat dinikmati bersama-sama.
Jika dulang telah habis dan dulang didekatnya masih berisi, maka ada pepatah yang biasa disampaikan Kalokpun ari ujan api nak ngelarat ndak ape, artinya Kalaupun hari hujan api mau menyebar  tidak apa. Maksudnya, api diibaratkan seseorang yang masih ingin menikmati hidangan, maka jika ia masih kurang maka boleh mengambil isi dulang yang ada disebelahnya.
Nah, dua poin penting dari makan bedulang mengajarkan hal yang sangat penting, dalam menata kehidupan sosial yang berbhineka ini. Makan bedulang terbuka bagi siapapun, tetapi perlu menjaga nilai-nilainya.

    

Kamis, 28 April 2016

Sekilas Tentang Karifan Lokal Melayu Belitong


Kesenian Gambangan, sebuah bagian dari kearifan lokal yang menjadi identitas daerah


Pengertian Kearifan lokal, terdiri dari dua kata yaitu kearifan (wisdom) atau kebijaksanaan dan lokal (local) atau setempat. Jadi kearifan lokal adalah gagasan setempat yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.[1]

Kearifan Llokal dipenuhi dengan nilai positif yang layak untuk dibumikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Namun sayangnya kearifan lokal yang tidak selamanya mampu bertahan ditengah kehidupan masyarakat. Padahal kearifan lokal adalah sebuah sistem pengetahuan lokal, ia membedakan suatu masyarakat lokal dengan masyarakat lokal yang lainnya.

Keterkaitan antara adat istiadat dan kearifan lokal tentunya memiliki hubungan yang erat didalam adat istiadat terdapat seperangkat aturan, kebiasaan dan norma-norma yang menjadi ciri khas suatu daerah. Misalnya Melayu Belitong, dengan adat yang memiliki karakter lolalitas Kebelitongan yang mungkin memiliki persamaan dan perberbedaan dengan melayu-melayu lainnya.

Lebih lanjut menyoal kearifan lokal, sebarnya adalah soal identitas. Kearifan lokal di satu daerah dengan lainnya akan berbeda sehingga melahirkan identitas kedaerahan yang khas satu sama lainnya. Hal ini dapat kita lihat dengan adanya, bahasa, makanan, pakaian, norma hingga tata cara pengobatan tradisional. Perbedaan itu dapat dilihat dari tipe-tipe kearifan lokal yang dapat ditelusuri:
  1. Kearifan lokal dalam hal makanan: Melayu Belitong mengenal Gangan, dan di daerah Melayu lainnya seperti Riau dan Jambi mengenal Gulai Ikan. Selain itu terdapat makanan khas misalnya, Berego atau Begero, Putu Ayak, Turak dan lain sebagainya.
  2. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pengobatan: dalam hal pengobatan Melayu Belitong mengenal Jampik yang bermacam-macam misalnya, Jampik Tawar BiseJampik Ujan Panas, Jampik Antu Berasuk, Jampik Sakit Perut Senggulong (Sakit Perut seperti Keram Perut). Selain itu juga ada kesalan yang menggunakan daun Ati-ati dan Neruse (Gandarusa).
  3. Kearifan lokal dalam hubungan dengan sistem produksi: dalam melayu belitong dikenal adnya Beume Betaun dengan Padi Tegalan sebagai tanaman utama, dan biasanya juga ditanam tanaman lainnya seperti Ubi dan Ketela. Untuk pemanfaatan terdapat tradisi Nirok Nanggok, serta kebiasaan lainnya seperti Mentandik dan
  4. Kearifan lokal dalam hubungan dengan perumahan: Melayu Belitong memiliki Rumah Adat yaitu Rumah Panggong dengan arsitektur Panggung baik memanjang ke depan atau melebar ke samping.
  5. Kearifan lokal dalam hubungan dengan pakaian: Melayu Belitong memiliki pakaian adat yaitu, Baju Kancing Limak dan Teluk Belange untuk laki-laki dan Baju Kurong untuk perempuan.
  6. Kearifan lokal dalam hubungan sesama manusia dan alam: perdukunan menjadi hal penting dalam menjaga keserasian hubungan manusia di Pulau Belitong. Peran berbagai dukun yaitu, Dukun Angin, Dukun Aik, Dukun Ubat hingga Dukun Kampong, dengan peran dan fungsi masing-masing menjaga keharmanonisan hubungan manusia dengan manusia dan manusia dengan alam.
[1] http://ariefksmwrdn.blogspot.co.id/2014/06/pengertian-kearifan-lokal.html


Selasa, 01 Maret 2016

Menyoal Gangan Dalam Tinjauan Sejarah Kebudayaan


Nama Gangan tentunya tak asing lagi dipendengaran, bahkan masyarakat dari berbagai lapisan usia sudah sering menikmati. Cita rasa kuliner ini memang khas, ikan segar yang dibalut dengan rasa dari aneka rempah-rempah, antara lain Lengkuas, Cabe Merah, kunyin dan sedikit asam serta bawang merah tentunya sangat memanjakan penikmatnya apalagi bagi mereka yang suka pedas tentunya kuliner ini kian memacu selera.
Kuliner khas Pulau Belitong ini tentunya memiliki sejarah tersendiri, yaitu soal kapan, dimana, siapa serta bagaimana proses terlahirnya. Jika kita telusuri dari sejarah kebudayaan masyarakat di Pulau Belitung, tentunya periode Kubok perlu untuk ditelisik lebih jauh. Menurut tulisan KA. Moehi yang berjudul Kubok, ditulis di Gantong, pada tanggal 1 Febuari 1989, ia menyebutkan bahwa pada masa lalu setiap kubok terdiri dari beberapa orang saja, masing-masing kubok letaknya berjauhan sehingga alam sekitar sangat menjadi sahabat dan sulit bergantung dengan orang “kubok” yang lain. Kehidupan yang masih sangat sederhana, perabotan rumah tangga dan  alat pertanian didapatkan dari hasil memanfaatkan hasil alam.
Lebih lanjut KA. Moehi menjelaskan bahwa masyarakat Kubok memiliki kebiasaan mangkap burung dengan menggunakan Geta Pikat dan Serekap (semacam perangkap burung). Selain itu pulut yang dipasang di dahan atau ranting pohon pada musim kemarau juga mentandik berupa jebakan untuk mendapat burung.
Selain itu mereka juga menanam  tanaman yang biasa ditanam di masa itu antara lain Kacang Butor, Kacang Parang, Kacang Tunggak, Berucuk Kangkong, keladi, tebu, serai, kunyit, Cabik Jarum, Cabik Cungak Bijan, yang ditanam bersama dengan padi, jelai dan liak (jahe).
Selain menangkap burung dan bercocok tanam masyarakat kubok juga biasa kala itu Nube di musim panas dengan menggunakan tube. Sehingga ikan keracunan bahkan pingsan sehingga mudah ditangkap.
Sayangnya KA. Moeh tidak menjelaskan bagaimana tradisi maritime yang kemudian mempengaruhi kuliner daerah yaitu gangan. K.A. Moehi meanggambarkan daerah pesisir Pulau Belitong kala itu dikuasi oleh Lanun sehingga masyarakat lokal kala itu cenderung berdiam di rimba dengan membuka Kubok yang disekitarnya merupakan area cocok tanam mereka.
Beberapa kebiasaan masyarakat yang telah  diungkap dalam tulisan KA. Moehi dan tulisannya yang lain tidak mengindikasikan dikenalnya gangan pada masa itu. Sehingga pertanyaan besarnya apakah Gangan belum ada pada masa itu ataukah sudah ada tetapi luput dari sejarah ?.
Beranjak dari hal tersebut, saya pun melihat hubugan gangan dengan kuliner daerah melayu lainnya, yang ternyata ada kemiripan. Misalnya Lempah Kuning di Pulau Bangka, Gulai Ikan di Kerinci, Ikan Asam Pedas di Pulau Penyengat (Kepulauan Riau) dan juga Gulai Ikan Patin Jambi dengan bumbu yang mirip gangan yaitu cabe merah, lengkuas, serai, kunyit, bawang merah dan bawah putih. Namun kuliner ikan ini di setiap daerah tentu memiliki cita rasa yang khas sebagai hasil dari penggunaan bumbu-bumbu yang diolah oleh tangan-tangan terampil.

Nah, hal tersebut tentunya melahirkan pertanyaan baru, apakah gangan ini adalah buah pengaruh kebudayaan masyarakat melayu lainnya atau hasil interaksi pelayaran dan perniagaan di masa lalu ?. Pertanyaan ini tentunya butuh kajian lebih lanjut, sehingga gangan sebagai identitas lokal akan diketahui jati dirinya.(adi_2016)

Rabu, 17 Februari 2016

MENELISIK JEJAK SEJARAH MELAYU DI MUSIUM BUDING



Melayu Nusantara di masa lalu dikenal dengan tradisi bahari yang mengakar kuat dari masa ke masa. Tradisi tersebut melingkupi tehnik pembuatan perahu, pelayaran serta pengetahuan lainnya dalam hal kemaritiman. Mereka sebagai suku yang dekat dengan tradisi kemaritiman ini, mereka boleh dikatakan pelaut yang  ulung dalam menjelajahi lautan nan luas.
Tradisi maritim turut disumbang dengan perniagaan atau perdagangan. Dengan adanya pelayaran tersebut, banyak daerah lain di Nusantara yang mengenal kebudayaan melayu, misalnya alat rumah tangga serta pakaian. Lantas bagaimana dengan Pulau Belitong, bagaimna hubungannya dengan Melayu Nusantara ?.
Dalam beberapa catatan sejarah Belanda, pernah disebut adanya kedatangan masyarakat Melayu dari berbagai daerah di Nusantara. Dalam buku De Eerste Jaren Van Billiton Onderneming Karangan John Francis Loudon, disebutkan pada tahun 1851 jumlah Melayu yang dating ke Pulau Belitong berjumlah 351. Mereka berasal dari berbagai daerah antara lain Pasai (Aceh), Borneo (Kalimantan) dan Riau.
Kedatangan mereka selanjutnya, melahirkan interaksi dengan Urang Darat atau masyarakat penghuni Pulau Belitong. Bentuk interaksi yang terwujud dalam pengaruh kekuasaan, keagamaan dan pertukaran barang. Mengenai kekuasaan tergambar dalam berdirinya Ngabehi Buding atau Kesultanan Buding. Raja yang pertama kali memerintah, Datuk Kemiring Wali Raib. Sayangnya jati dirinya tidak diketahui, tetapi banyak orang meyakini ia berasal dari Pasai namun ada juga yang menyatakan berasal dai Komering daerah di Sumatera Selatan, yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di tanah penghasil timah ini.
Lebih lanjut, Islamisasi turut dipengaruhi ulama lainnya yang juga berasal dari Pasai.
“Oerang datoe dae Dengeri Pasai datang de Belitoeng mengadjarkan egame selam (Islam-pen) dan berape-rape banjake oerang Djang lam Joea masoek egame selam serete berape banjake oerang njang begoeroe pade itoe datoe-datoe, ainan Datoe keramat goenoeng Tadjam njang belebeh alim banjak aelemoe serete poela banjak anak moeride dan oerang poen oeda lah banjak masoek egame selam”
Demikian kutipan langsung dari Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, yang ditulis pada tahun 1 December 1889 di Batavia. Tulisan ini menggunakan ejaan Indonesia lama dan istilah-istilahnya disesuaikan dengan dialek lokal. Berangkat dari tulisan, kian menyiratkan hubungan yang erat antara Belitong dan dunia melayu dalam Islamisasi.
Berikutnya bukti hubungan Belitong dan Melayu Nusantara, dapat kita lihat di Musium Buding. Banyak koleksi yang menyiratkan hubungan dua daerah tersebut. Kita awali dengan Bokor dan Pahar, dua kerajinan ini ramai digunakan di belahan dunia melayu. Bokor merupakan wadah keramik atau logam sejenis mangkuk berukuran besar. Bagian bokor dapat memiliki kaki atau tidak dan umumnya memiliki mulut yang diameternya mendekati diameter kaki. Sedangkan Pahar menyerupai piring berkaki tinggi berbentuk lingkaran. Biasanya pahar terdiri dari dua bagian yaitu, piring dan kaki bisa dilepas (bongkar-pasang).

Gambar Bokor

Sejauh ini kerajinan tembaga atau kuningan belum dapat disimpulkan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Belitong di masa lalu. Sebab dalam beberapa catatan sejarah, masyarakat Belitong dekat dengan megolah besi, bahkan menyebutkan pada tahun 5 Oktober 1640 telah mengekspor parang dan pahat, ke Batavia sebagai tercatat dalam Dagh Register (register perdagangan).
Lebih lanjut, keterkaitan budaya Belitong dan Melayu Nusantara tersirat dalam keberadaan senjata khas melayu yang bernama Tumbuk Lada kemudian dikenal dan digunakan oleh masyarakat Melayu Belitong yang kemudian dikenal dengan Tumbok Lade. Senjata ini digunakan di banyak daerah antara lain, Riau, Aceh bahkan Malaysia. Fungsi Tumbuk Lada adalah untuk pertempuran, untuk menikam, mengiris dan menusuk dalam pertempuran jarak dekat. Perkembangan penggunaan Tumbuk Lada saat ini yaitu untuk perhiasan atau digunakan untuk acara adat dan pengobatan.
Gambar Tumbuk Lada (Tumbok Lade)


 Musium Buding tidak hanya berfungsi “barang mati” yang tidak bisa berbicara. Namun, sebenarnya koleksi tersebut mengisahkan kepada kita adanya mengabarkan kepada pengunjungnya bahwa  di masa lalu teelah terjadi dialog peradaban lintas kebudayaan.