Melayu Nusantara
di masa lalu dikenal dengan tradisi bahari yang mengakar kuat dari masa ke
masa. Tradisi tersebut melingkupi tehnik pembuatan perahu, pelayaran serta
pengetahuan lainnya dalam hal kemaritiman. Mereka sebagai suku yang dekat
dengan tradisi kemaritiman ini, mereka boleh dikatakan pelaut yang ulung dalam menjelajahi lautan nan luas.
Tradisi
maritim turut disumbang dengan perniagaan atau perdagangan. Dengan adanya
pelayaran tersebut, banyak daerah lain di Nusantara yang mengenal kebudayaan
melayu, misalnya alat rumah tangga serta pakaian. Lantas bagaimana dengan Pulau
Belitong, bagaimna hubungannya dengan Melayu Nusantara ?.
Dalam
beberapa catatan sejarah Belanda, pernah disebut adanya kedatangan masyarakat
Melayu dari berbagai daerah di Nusantara. Dalam buku De Eerste Jaren Van
Billiton Onderneming Karangan John Francis Loudon, disebutkan pada tahun
1851 jumlah Melayu yang dating ke Pulau Belitong berjumlah 351. Mereka berasal
dari berbagai daerah antara lain Pasai (Aceh), Borneo (Kalimantan) dan Riau.
Kedatangan
mereka selanjutnya, melahirkan interaksi dengan Urang Darat atau
masyarakat penghuni Pulau Belitong. Bentuk interaksi yang terwujud dalam
pengaruh kekuasaan, keagamaan dan pertukaran barang. Mengenai kekuasaan
tergambar dalam berdirinya Ngabehi Buding atau Kesultanan Buding. Raja yang
pertama kali memerintah, Datuk Kemiring Wali Raib. Sayangnya jati dirinya tidak
diketahui, tetapi banyak orang meyakini ia berasal dari Pasai namun ada juga
yang menyatakan berasal dai Komering daerah di Sumatera Selatan, yang sangat
berpengaruh dalam penyebaran Islam di tanah penghasil timah ini.
Lebih
lanjut, Islamisasi turut dipengaruhi ulama lainnya yang juga berasal dari
Pasai.
“Oerang datoe dae Dengeri Pasai
datang de Belitoeng mengadjarkan egame selam (Islam-pen) dan berape-rape
banjake oerang Djang lam Joea masoek egame selam serete berape banjake oerang
njang begoeroe pade itoe datoe-datoe, ainan Datoe keramat goenoeng Tadjam njang
belebeh alim banjak aelemoe serete poela banjak anak moeride dan oerang poen
oeda lah banjak masoek egame selam”
Demikian
kutipan langsung dari Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde,
yang ditulis pada tahun 1 December 1889 di Batavia. Tulisan ini menggunakan
ejaan Indonesia lama dan istilah-istilahnya disesuaikan dengan dialek lokal.
Berangkat dari tulisan, kian menyiratkan hubungan yang erat antara Belitong dan
dunia melayu dalam Islamisasi.
Berikutnya
bukti hubungan Belitong dan Melayu Nusantara, dapat kita lihat di Musium
Buding. Banyak koleksi yang menyiratkan hubungan dua daerah tersebut. Kita
awali dengan Bokor dan Pahar, dua kerajinan ini ramai digunakan
di belahan dunia melayu. Bokor merupakan wadah keramik atau logam sejenis
mangkuk berukuran besar. Bagian bokor dapat memiliki kaki atau tidak dan
umumnya memiliki mulut yang diameternya mendekati diameter kaki. Sedangkan
Pahar menyerupai piring berkaki tinggi berbentuk lingkaran. Biasanya pahar
terdiri dari dua bagian yaitu, piring dan kaki bisa dilepas (bongkar-pasang).
Gambar Bokor
Sejauh
ini kerajinan tembaga atau kuningan belum dapat disimpulkan sebagai bagian dari
kebudayaan masyarakat Belitong di masa lalu. Sebab dalam beberapa catatan
sejarah, masyarakat Belitong dekat dengan megolah besi, bahkan menyebutkan pada
tahun 5 Oktober 1640 telah mengekspor parang dan pahat, ke Batavia sebagai
tercatat dalam Dagh Register (register perdagangan).
Lebih
lanjut, keterkaitan budaya Belitong dan Melayu Nusantara tersirat dalam keberadaan
senjata khas melayu yang bernama Tumbuk Lada kemudian dikenal dan
digunakan oleh masyarakat Melayu Belitong yang kemudian dikenal dengan Tumbok
Lade. Senjata ini digunakan di banyak daerah antara lain, Riau, Aceh bahkan
Malaysia. Fungsi Tumbuk Lada adalah untuk pertempuran, untuk menikam, mengiris
dan menusuk dalam pertempuran jarak dekat. Perkembangan penggunaan Tumbuk Lada
saat ini yaitu untuk perhiasan atau digunakan untuk acara adat dan pengobatan.
Gambar Tumbuk Lada (Tumbok Lade)
Musium Buding tidak hanya berfungsi “barang
mati” yang tidak bisa berbicara. Namun, sebenarnya koleksi tersebut mengisahkan
kepada kita adanya mengabarkan kepada pengunjungnya bahwa di masa lalu teelah terjadi dialog peradaban
lintas kebudayaan.
0 komentar:
Posting Komentar