Sunset di Pantai Punai

Turunnya tabir senja, menjadi penutup hari.

Lepat sang Kuliner Khas Maras Taun

Lepat merupakan menu wajib saat maras taun digelar, dan lebih enak jika dinikmati bersama Emping Beras.

Buang Jong, Tradisi Sakral Suku Sawang

Buang Jong juga disebut Muang Jong, di Belitung Timur biasanya dilaksanakan pada bulan Febuari.

Perahu diantara Bagan Layar

Keberadaan perahu dan Bagan Layar menjadi objek foto yang menarik di Pulau Buku Limau.

Bokor

Adalah simbol pertautan dan dialog budaya masyarakat melayu Nusantara yang berkunjung ke Pulau Belitong.

Rabu, 17 Februari 2016

MENELISIK JEJAK SEJARAH MELAYU DI MUSIUM BUDING



Melayu Nusantara di masa lalu dikenal dengan tradisi bahari yang mengakar kuat dari masa ke masa. Tradisi tersebut melingkupi tehnik pembuatan perahu, pelayaran serta pengetahuan lainnya dalam hal kemaritiman. Mereka sebagai suku yang dekat dengan tradisi kemaritiman ini, mereka boleh dikatakan pelaut yang  ulung dalam menjelajahi lautan nan luas.
Tradisi maritim turut disumbang dengan perniagaan atau perdagangan. Dengan adanya pelayaran tersebut, banyak daerah lain di Nusantara yang mengenal kebudayaan melayu, misalnya alat rumah tangga serta pakaian. Lantas bagaimana dengan Pulau Belitong, bagaimna hubungannya dengan Melayu Nusantara ?.
Dalam beberapa catatan sejarah Belanda, pernah disebut adanya kedatangan masyarakat Melayu dari berbagai daerah di Nusantara. Dalam buku De Eerste Jaren Van Billiton Onderneming Karangan John Francis Loudon, disebutkan pada tahun 1851 jumlah Melayu yang dating ke Pulau Belitong berjumlah 351. Mereka berasal dari berbagai daerah antara lain Pasai (Aceh), Borneo (Kalimantan) dan Riau.
Kedatangan mereka selanjutnya, melahirkan interaksi dengan Urang Darat atau masyarakat penghuni Pulau Belitong. Bentuk interaksi yang terwujud dalam pengaruh kekuasaan, keagamaan dan pertukaran barang. Mengenai kekuasaan tergambar dalam berdirinya Ngabehi Buding atau Kesultanan Buding. Raja yang pertama kali memerintah, Datuk Kemiring Wali Raib. Sayangnya jati dirinya tidak diketahui, tetapi banyak orang meyakini ia berasal dari Pasai namun ada juga yang menyatakan berasal dai Komering daerah di Sumatera Selatan, yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di tanah penghasil timah ini.
Lebih lanjut, Islamisasi turut dipengaruhi ulama lainnya yang juga berasal dari Pasai.
“Oerang datoe dae Dengeri Pasai datang de Belitoeng mengadjarkan egame selam (Islam-pen) dan berape-rape banjake oerang Djang lam Joea masoek egame selam serete berape banjake oerang njang begoeroe pade itoe datoe-datoe, ainan Datoe keramat goenoeng Tadjam njang belebeh alim banjak aelemoe serete poela banjak anak moeride dan oerang poen oeda lah banjak masoek egame selam”
Demikian kutipan langsung dari Tijdschrift voor Indische taal-, land-, en volkenkunde, yang ditulis pada tahun 1 December 1889 di Batavia. Tulisan ini menggunakan ejaan Indonesia lama dan istilah-istilahnya disesuaikan dengan dialek lokal. Berangkat dari tulisan, kian menyiratkan hubungan yang erat antara Belitong dan dunia melayu dalam Islamisasi.
Berikutnya bukti hubungan Belitong dan Melayu Nusantara, dapat kita lihat di Musium Buding. Banyak koleksi yang menyiratkan hubungan dua daerah tersebut. Kita awali dengan Bokor dan Pahar, dua kerajinan ini ramai digunakan di belahan dunia melayu. Bokor merupakan wadah keramik atau logam sejenis mangkuk berukuran besar. Bagian bokor dapat memiliki kaki atau tidak dan umumnya memiliki mulut yang diameternya mendekati diameter kaki. Sedangkan Pahar menyerupai piring berkaki tinggi berbentuk lingkaran. Biasanya pahar terdiri dari dua bagian yaitu, piring dan kaki bisa dilepas (bongkar-pasang).

Gambar Bokor

Sejauh ini kerajinan tembaga atau kuningan belum dapat disimpulkan sebagai bagian dari kebudayaan masyarakat Belitong di masa lalu. Sebab dalam beberapa catatan sejarah, masyarakat Belitong dekat dengan megolah besi, bahkan menyebutkan pada tahun 5 Oktober 1640 telah mengekspor parang dan pahat, ke Batavia sebagai tercatat dalam Dagh Register (register perdagangan).
Lebih lanjut, keterkaitan budaya Belitong dan Melayu Nusantara tersirat dalam keberadaan senjata khas melayu yang bernama Tumbuk Lada kemudian dikenal dan digunakan oleh masyarakat Melayu Belitong yang kemudian dikenal dengan Tumbok Lade. Senjata ini digunakan di banyak daerah antara lain, Riau, Aceh bahkan Malaysia. Fungsi Tumbuk Lada adalah untuk pertempuran, untuk menikam, mengiris dan menusuk dalam pertempuran jarak dekat. Perkembangan penggunaan Tumbuk Lada saat ini yaitu untuk perhiasan atau digunakan untuk acara adat dan pengobatan.
Gambar Tumbuk Lada (Tumbok Lade)


 Musium Buding tidak hanya berfungsi “barang mati” yang tidak bisa berbicara. Namun, sebenarnya koleksi tersebut mengisahkan kepada kita adanya mengabarkan kepada pengunjungnya bahwa  di masa lalu teelah terjadi dialog peradaban lintas kebudayaan.