Nama
Gangan tentunya tak asing lagi dipendengaran, bahkan masyarakat dari berbagai
lapisan usia sudah sering menikmati. Cita rasa kuliner ini memang khas, ikan
segar yang dibalut dengan rasa dari aneka rempah-rempah, antara lain Lengkuas,
Cabe Merah, kunyin dan sedikit asam serta bawang merah tentunya sangat
memanjakan penikmatnya apalagi bagi mereka yang suka pedas tentunya kuliner ini kian memacu selera.
Kuliner
khas Pulau Belitong ini tentunya memiliki sejarah tersendiri, yaitu soal kapan, dimana,
siapa serta bagaimana proses terlahirnya. Jika kita telusuri dari sejarah
kebudayaan masyarakat di Pulau Belitung, tentunya periode Kubok perlu
untuk ditelisik lebih jauh. Menurut tulisan KA. Moehi yang berjudul Kubok, ditulis
di Gantong, pada tanggal 1 Febuari 1989, ia menyebutkan bahwa pada masa lalu setiap
kubok terdiri dari beberapa orang saja, masing-masing kubok letaknya berjauhan
sehingga alam sekitar sangat menjadi sahabat dan sulit bergantung dengan orang
“kubok” yang lain. Kehidupan yang masih sangat sederhana, perabotan rumah
tangga dan alat pertanian didapatkan
dari hasil memanfaatkan hasil alam.
Lebih
lanjut KA. Moehi menjelaskan bahwa masyarakat Kubok memiliki kebiasaan
mangkap burung dengan menggunakan Geta Pikat dan Serekap (semacam perangkap burung). Selain itu pulut yang
dipasang di dahan atau ranting pohon pada musim kemarau juga mentandik berupa jebakan untuk mendapat burung.
Selain
itu mereka juga menanam tanaman
yang biasa ditanam di masa itu antara lain Kacang Butor, Kacang
Parang, Kacang Tunggak, Berucuk Kangkong, keladi, tebu,
serai, kunyit, Cabik Jarum, Cabik Cungak Bijan, yang ditanam
bersama dengan padi, jelai dan liak (jahe).
Selain
menangkap burung dan bercocok tanam masyarakat kubok juga biasa kala itu Nube
di musim panas dengan menggunakan tube. Sehingga ikan keracunan bahkan
pingsan sehingga mudah ditangkap.
Sayangnya
KA. Moeh tidak menjelaskan bagaimana tradisi maritime yang kemudian mempengaruhi kuliner daerah yaitu gangan. K.A. Moehi meanggambarkan daerah pesisir Pulau Belitong
kala itu dikuasi oleh Lanun sehingga masyarakat lokal kala itu cenderung berdiam di rimba
dengan membuka Kubok yang disekitarnya merupakan area cocok tanam
mereka.
Beberapa
kebiasaan masyarakat yang telah diungkap
dalam tulisan KA. Moehi dan tulisannya yang lain tidak mengindikasikan
dikenalnya gangan pada masa itu. Sehingga pertanyaan besarnya apakah Gangan
belum ada pada masa itu ataukah sudah ada tetapi luput dari sejarah ?.
Beranjak
dari hal tersebut, saya pun melihat hubugan gangan dengan kuliner daerah melayu lainnya, yang ternyata ada kemiripan. Misalnya Lempah Kuning di Pulau Bangka, Gulai Ikan di
Kerinci, Ikan Asam Pedas di Pulau Penyengat (Kepulauan Riau) dan juga Gulai
Ikan Patin Jambi dengan bumbu yang mirip gangan yaitu cabe merah, lengkuas,
serai, kunyit, bawang merah dan bawah putih. Namun kuliner ikan ini di setiap
daerah tentu memiliki cita rasa yang khas sebagai hasil dari penggunaan
bumbu-bumbu yang diolah oleh tangan-tangan terampil.
Nah,
hal tersebut tentunya melahirkan pertanyaan baru, apakah gangan ini adalah buah
pengaruh kebudayaan masyarakat melayu lainnya atau hasil interaksi pelayaran dan perniagaan di
masa lalu ?. Pertanyaan ini tentunya butuh kajian lebih lanjut, sehingga gangan sebagai identitas lokal akan diketahui jati dirinya.(adi_2016)